Muhammad Yunus dan R.A. Kartini
Ada apa dengan dua orang di atas? Secara gender, dua orang
ini jelas berbeda. Tempat asal mereka pun berbeda. Muhammad Yunus berasal dari
Bangladesh sedangkan R.A. Kartini berasal dari Indonesia. Terlepas dari
perbedaan di atas, saya sengaja menyandingkan kedua orang ini karena mereka
memiliki kesamaan pemikiran terhadap perempuan.
Bagi mereka yang giat melakukan aktivitas sosial, Muhammad
Yunus bukanlah nama yang asing. Ia adalah pendiri Grameen Bank, bank yang
memprioritaskan perempuan miskin di Bangladesh. Bank ini diawali dengan proyek
percontohan pada tahun 1974 yang bertempat di desa Jobra, sebuah desa di
Bangladesh. Alasan untuk memprioritaskan kaum miskin tentu tidak mengherankan,
tetapi mengapa harus perempuan? Apa alasannya?
Muhammad Yunus adalah seorang dosen yang sudah meraih gelar professor.
Akan tetapi, karena bukan praktisi perbankan, ia harus belajar mulai dari nol,
termasuk belajar bagaimana sistem yang pas sampai debitur yang diprioritaskan.
Sistem yang ia gunakan pada waktu itu adalah sistem kolektif. Biasanya, bank
akan meminjamkan dananya hanya untuk seseorang, sedangkan bank yang ia rintis
ini mewajibkan debitur (pihak peminjam) membuat kelompok sebanyak 5 orang. Hal
ini ia lakukan untuk menghemat biaya pegawai yang bertugas mengawasi penggunaan
dana bank. Coba bayangkan jika ada 5 orang yang meminjam uang bank di saat yang
sama! Tentu ini bisa menambah biaya dan hasil akhirnya adalah bunga yang
membengkak. Setelah mendapatkan dana, kelompok akan memilih seseorang di
kelompok itu yang terlebih dahulu meminjam uang tersebut. Begitu orang pertama
mengembalikan uang itu (pokok dan bunganya), kelompok memilih orang kedua untuk
meminjam uang tadi. Begitu pula seterusnya sampai dana kelompok tadi bisa
besar. Terlepas dari bunga yang dibayar tadi, kita tidak akan membahasnya dari
perspektif hukum agama karena kita tidak sedang membahas itu.
Selain itu, bank ini tidak mensyaratkan agunan. Bank, pada
umumnya, mensyaratkan agunan untuk kreditnya, dan itu hanya bisa ditebus oleh
orang kaya. Ini tentu menjadi angin segar bagi kaum miskin untuk meminjam dana
tanpa harus memiliki barang jaminan yang memberatkan mereka.
Dari sisi debitur, bank ini memprioritaskan perempuan untuk
meminjam dananya. Setelah ia mengamati perilaku masyarakat di sana dalam waktu
cukup lama, ia menyimpulkan bahwa jika diberi pinjaman, perempuan lebih “tidak
egois” daripada laki-laki. Perempuan, terutama yang sudah memiliki momongan,
lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memprioritaskan pinjaman
tersebut untuk anak-anaknya, sehingga kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi dan
kemiskinan dapat dihilangkan dengan cepat. Sebaliknya, laki-laki, terutama yang
sudah beristri, memprioritaskan pinjaman tersebut untuk dirinya sendiri,
sehingga kemiskinan tak kunjung usai.
Tidak hanya itu, di Bangladesh, jika seorang perempuan (yang
kaya sekalipun) ingin meminjam dana bank, pihak bank akan melontarkan
pertanyaan seperti ini, “sudahkah Anda berbicara dengan suami?”, “apa ia
mendukung rencana Anda?”, atau yang lebih parah, “bisakah kami berbicara dengan
dia?”. Namun, tidak ada pertanyaan semacam itu jika sang suami akan melakukan
hal yang sama. Semoga bank di Indonesia tidak demikian.
Hasilnya? Muhammad Yunus mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian
2006 dan pada April 2008, sistem Grameen Bank telah diadopsi oleh lebih dari
250 lembaga di 100 negara. Jumlah itu sepertinya tidak relevan dan bahkan
mungkin meningkat karena informasinya sudah kadaluarsa 9 tahun. Beliau juga aktif
mengunggah video di YouTube dengan konten yang tak jauh dari aktivitasnya.
Kesimpulannya? Muhammad Yunus dan RA Kartini memiliki
kesamaan pemikiran terhadap perempuan. Bagi mereka, perempuan memiliki kemampuan
yang juga bisa diandalkan. (Peran) perempuan tidak seharusnya disepelekan
begitu saja, apalagi ditekan dan ditindas. Malahan, Nabi Muhammad SAW menekankan penghormatan kepada ibu, figur seorang perempuan, sebanyak tiga kali. Hal ini tidak terlepas dari beban
seorang ibu yang lebih banyak dan tentunya diimbangi kemampuan yang juga lebih
banyak dari bapak, terlepas dari peran bapak sebagai kepala rumah tangga.
Selamat Hari Kartini, semoga perempuan RI bisa membangun
bangsa sendiRI.


Komentar
Posting Komentar