Apa? Buat SIM Lewat Calo?
Di sini saya mau sharing aja
(lebih tepatnya cerita ya) pengalaman saya buat SIM (Surat Izin Mengemudi) di
Satpas Kolombo, Surabaya. Kebetulan saya ngurus SIM A dan C. Kejadian di bulan
Desember 2017.
Pertama kali ke sana, saya naik motor sendirian. Belum sempet
parkir, ada beberapa orang yang awe-awe (melambaikan tangan)
ke saya. Karena nggak kenal, ya ngapain ditanggepi? Pikir saya pada waktu itu.
Apalagi mereka berada di depan warung makan. Saya pikir ya mereka nawari makan
lah, namanya juga di warung. Saya juga kebetulan lagi laper, jadi pas udah
parkir motor, saya ke salah satu warung di situ.
Nah, ini yang bikin saya sadar. Pas saya mendekat ke warung itu,
orang yang tadi melambaikan tangan bilang gini ke saya, "mau buat SIM
mas?". Saya tolak pada waktu itu, "nggak pak, mau makan". Habis
itu saya langsung mikir, "mereka ini calo, di depan warung aja ada 2,
gimana nanti kalo masuk?".
Saya langsung ingat teman KKN saya yang rumahnya kebetulan deket
Satpas. Ia pernah bilang kalo di sana ngurus SIM bisa cepet, tentunya dengan
jalur "belakang" kayak yang nawari saya di warung tadi. Temen KKN
saya yang lain pun dukung saya lewat jalur belakang itu. Sebenernya ini
bagus-bagus aja karena pada waktu itu saya udah bisa nyetir nyampek luar kota
(waktu itu di Sampang) tapi nggak punya SIM, dan jelas saya butuh SIM A
Dan, benar saja. Habis makan, saya masuk ke Satpas. Pas saya mau
masuk, ada calo lagi yang nawari di pintu masuk parkiran, "mau buat SIM
mas?". Saya tolak juga pada waktu itu. Pikir saya, "iki niat
nulung opo niat nyolong?" (dia niat bantu apa niat nyuri?). Emang sih,
saya nggak terlalu tau berapa biaya buat SIM kalo pake calo, tapi jelas lebih
mahal dari biaya aslinya yang sebesar 175 ribu, dan itu udah termasuk tes dan
asuransi kesehatan. Dan itulah sebab orang-orang di jalan sembrono dengan
aturan lalu lintas karena buat SIM pake jalur belakang.
Oh iya, ada yang kelewatan. Sebelum saya masuk Satpas, saya harus
menjalani tes kesehatan dan asuransinya sebesar 55 ribu di depan Satpas
(berarti biaya buat SIM A tanpa tes dan asuransi 120 ribu). Saya mengalami
kejadian yang sama kayak di warung tadi. "Mau bikin SIM mas?". Saya
tolak lagi kayak sebelumnya.
Sampai sini saya sadar kenapa ada peluang jasa calo di sini. Kita
harus mengantri dulu untuk menjalani tes kesehatan dan membayar asuransinya,
yang saya pikir sebenernya gak lama. Tes kesehatannya juga hanya suruh baca
tulisan, yang bagi saya penting apalagi kalo pas ketemu papan petunjuk arah. Hanya
saja, karena yang antri banyak banget (saya bahkan pernah menemukan antrian
sampek 250 pemohon hanya untuk tes kesehatan dan bayar asuransi), saya harus
rela menunggu hampir 2 jam, tepatnya 1 jam 45 menit. Waktu yang lama hanya
untuk tes kesehatan dan bayar asuransi. Atau, justru calo lah yang bikin nomer
antrian bisa banyak gitu? Wong antrian buat paspor online aja
bisa penuh hanya gara-gara calo (setau saya sih begitu beritanya).
Nah, ada yang lebih parah dari itu. Habis tes kesehatan dan bayar
asuransi, saya masuk ke satpas buat pengajuan SIM. Saya ambil formulir
pengajian dan nomer antrian yang sudah saya duga bakal lebih parah dari antrian
tes kesehatan. Ya, saya mendapat nomer 400-an, dan antrian yang bejalan masih
di angka 200-an, sehinggan saya harus menunggu 200-an antrian lagi. Saya gak
perlu cerita ngapain aja pas nunggu antrian ular itu.
Setelah itu, saya disuruh foto dan tanda tangan buat data SIM
saya, habis itu ujian teori. Kayaknya agak berbeda dari yang sata tau di daerah
Gresik (saya asli Gresik, domisili Surabaya), ujian dulu dan foto dkk
belakangan. Singkat cerita, saya lulus ujian teori online, yang sulit kalo
mau nyontek karena pake komputer
Nah, inilah ujian "keimanan" sebenernya. Kenapa? Di
sini, jika Anda berhasil dalam satu kali saja (tidak gagal sampek harus nunggu
seminggu), jelas Anda adalah orang hebat. Saya harus lulus ujian praktek dengan
kendaraan yang tersedia, dan saya pribadi baru lulus setelah 5 kali praktek.
Malah ada yang sampek 6 bahkan 7 kali baru lulus ujian praktek. Untungnya pihak
Satpas udah nyediain mobil matic (ya iyalah, jaman now masak masih pake
kopling). Saya pribadi hanya bisa menggunakan mobil matic karena mobil orangtua
saya kebetulan matic juga, jadi jelas jauh lebih enak. Mungkin itulah alasan
saya ngurus SIM di Surabaya. Rintangannya ada 4: trek zig-zag, jalan sempit,
parkir, dan jalan menanjak.
Trek pertama yaitu maju dan mundur secara zig-zag tanpa
menabrak cone dan melebihi garis pembatas. Saya gagal 3 kali
di trek ini. Memang di trek ini banyak yang gagal pas mundur zig-zag.
Trek kedua maju dan mundur di jalam sempit. Setau saya nggak ada
yang gagal di sini, termasuk saya. Kalo ada yang gagal, saya pastikan ia baru
menyetir mobil untuk pertama kali. Trek ketiga yaitu parkir, tentunya parkir
seri dan paralel, dan saya gagal sekali di trek ini. Trek terakhir yaitu
berhenti di tanjakan, lalu maju tanpa mundur sedikitpun. Inipun juga saya nggak
pernah nemui ada yang gagal di sini.
Masalahnya, pada kali ke-5, saya sendiri sedang tidak sehat.
Jantung saya berdebar-debar, kaki saya pun gemetar. Dan itu baru saya sadari
ketika di trek jalan menanjak. Di trek sebelumnya, saya nggak injak pedal gas
sama sekali karena matic bisa jalan sendiri tanpa gas. Nah, di jalan menanjak,
mau tidak mau saya harus injak pedal gas karena sebenernya ini trek yang paling
gak masuk akal. Kenapa? Masak berhenti di tanjakan gak boleh pake rem? Lantas,
pake batu? Di daerah lain, Gresik misalnya, boleh kok jalan menanjak pake rem,
rem parkir terutama. Karena harus seimbang antara gaya gravitasi dengan tenaga
mobil, saya injak pedal gas itu walaupun dengan gemetaran, yang sebenernya bisa
dihindari kalo pake rem parkir. Untungnya, saya bisa menyeimbangkannya dengan
baik sehingga saya lulus tes SIM A.
Ujian keimanan di sini gak hanya gagal berkali-kali, tapi juga
nunggu gagalnya itu. Jika gagal sekali, Anda baru boleh ujian praktek seminggu
setelah gagal, itupun jika tidak gagal lagi. Jika gagal 5 kali? Jelas Anda
harus nunggu 5 minggu, dan itulah peluang terbesar kenapa masih banyak calo
dalam pengurusan SIM. Saya pribadi heran kenapa nunggunya harus seminggu? Kalo
tertunda sehari mungkin orang lebih milih ngurus sendiri ketimbang pake calo,
apalagi dengan pertimbangan harga calo yang kadang bisa dua kali lipat bahkan
lebih.
Intinya, saya di sini ingin bilang bahwa perlu ada perbaikan di
segala sisi. Kita bisa melakukannya kalo memang ingin melakukannya. We
create what we want.
Pak Polisi, tolong kalo bisa
nunggunya jangan seminggu. Orang-orang gak bakal sempet punya waktu segitu,
itupun kalo gagalnya cuma sekali. Buat peraturan terkait pelayanan publik yang
tidak mencekik banyak orang tapi tetap bisa merepresentasikan, menunjukkan lah,
kemampuan dan etika mengemudi seseorang. Juga, ada lagi. Pak, tolong standarkan
(bakukan) aturan pembuatan SIM di seluruh Indonesia, termasuk kendaraan, rintangan,
dan cara melaluinya, tentunya disesuaikan dengan jaman sekarang (misalnya,
disediakan mobil matic). Jangan ada yang berbeda di tiap satpas.
Pemerintah (pusat dan daerah),
tolong sediakan angkutan umum yang layak untuk jaman kayak gini. Jangan tol aja
yang digencarkan pak, angkutan umum juga penting. Jalan tol bisa diganti dengan
kereta, termasuk kereta cepat. Transportasi online itu kritik buat kalian kalo
pemerintah nggak bisa nyediain transportasi umum yang layak. LCGC itu gak perlu
kalo kalian bisa menyediakan angkutan umum yang layak untuk jaman sekarang.
Kalo perlu, sediakan KRL di tiap kabupaten/kota di Indonesia.
Masyarakat (termasuk saya),
sebelum beli kendaraan, mending ngurus SIM dulu, jangan ambil jalan pintas. Calo gak bakal ada kalo kalian bersikeras gak mau buat SIM lewat jalur belakang. Kecelakaan terjadi karena kesalahan kita. Siapapun nggak bisa jamin Anda semua qualified
sebagai pengemudi yang punya kemampuan dan etika kalo nggak ada SIM yang diurus
beneran. Coba kita pikir, lebih banyak mana kecelakaan dengan pengemudi tanpa
SIM atau pengemudi yang punya SIM (walau pake jalur belakang sekalipun)?

Komentar
Posting Komentar