Dilema Pemerintah dan Fenomena Taksi Online

Kemarin, tepatnya 29 Januari 2018, ada unjuk rasa yang dilakukan Aliando (Aliansi Nasional Driver Online) terkait Permenhub, yang saya sendiri lupa nomer berapa. Saya pikir Aliando ini nama artis terkenal itu, ternyata bukan. Yang jelas, mereka menggugat peraturan tersebut karena merasa Permenhub tersebut memberatkan mereka.

Salah satu poin Permenhub tadi adalah kewajiban nempel stiker pada mobil yang terdaftar sebagai taksi online. Bagi saya pribadi, ini yang paling memberatkan mereka karena lha wong nggak ada stikernya saja (sebagai pembeda antara transportasi biasa dan online/daring) mereka berdua bisa geger, apalagi kalo ada! Permenhub jelas bertujuan untuk meredam konflik dua transportasi ini, namun poin ini kok kayaknya paradoks bin kontradiktif.

Poin yang lain adalah kewajiban uji KIR untuk mobil taksi online. Ini juga menurut saya nggak masuk akal. Ini pernah diungkapkan oleh salah satu kawan di Suara Surabaya (kebetulan saya pendengar setia) pada pagi ini, tepatnya 30 Januari 2018. Dia bilang bahwa uji KIR lebih pantas diterapkan pada mobil di atas 5 tahun, sedangkan mobil taksi online disyaratkan di bawah 5 tahun saat pendaftaran. Ini terkait dengan kenyataan bahwa kendaraan di bawah 5 tahun jelas lebih layak jalan dibandingkan kendaraan di atas 5 tahun. Artinya, Kementerian Perhubungan secara tidak langsung meragukan kualitas mobil pabrik yang jelas-jelas punya standar khusus dalam membuat mobil. Lagian juga pemilik mobil bisa servis di bengkel yang mereka percaya.

Sebenernya yang saya persoalkan bukan kewajiban uji KIR-nya, namun pelaksanaan uji KIR-nya sendiri bermasalah. Coba kita lihat angkot dan truk misalnya. Banyak angkot, apalagi truk, yang orang awam pun tau kalo mereka nggak layak pake. Udah jadi berita wajar kalo ada truk yang, mohon maaf, nggak kuat nanjak lah, mogok lah, dan sebagainya. Harusnya pemerintah ngatur juga pelaksanaan KIR yang bermasalah ini.

Sikap saya dalam hal ini bukan berarti saya anti dengan pemerintah. Saya justru berharap pemerintah bersikap tegas dalam pelaksanaan peraturan, apapun itu, termasuk pelaksanaan KIR yang baik dan bener. Uji KIR memang penting demi keselamatan tiap orang, namun pelaksanaan yang gak sesuai dengan aturan sama kayak nggak ada uji KIR sama sekali. Pemerintah bisa kolaborasi sama bengkel resmi yang disediain ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk), produsen kendaraan lah, biar uji kir bisa dikolaborasikan dengan layanan bengkel resmi, misalnya uji KIR sepaket sama servis berkala.

Terkait dengan stiker, sebenernya persoalan awalnya bukan itu. Yang bikin konflik transportasi biasa dan online adalah pergeseran pengguna, masyarakat lah, dari transportasi biasa ke online. Pengendara transportasi biasa merasa pelanggannya “dicaplok” pengendara transportasi online. Artinya, selama ini, pemerintah belum bisa (kalo tidak dikatakan nggak bisa) nyediain transportasi umum yang layak bagi masyarakat.

Kita akan lihat persoalan awal dulu. Transportasi biasa ada bis kota, angkot, becak, ojek, dan taksi (biasa). Trasportasi online ada taksi dan ojek online. Transportasi online, mau tidak mau, sedang (kalo tidak dibilang telah) merebut pelanggan transportasi biasa. Kenapa? Sebab utamanya adalah transportasi biasa DIBIARKAN NGETEM DAN TIDAK DIDORONG PROAKTIF dalam melayani pelanggan. Mereka tidak diberi insentif, dorongan lah, walaupun aktif mendatangi pelanggan. Kita lihat angkot misalnya. Mereka bisa aja proaktif mendatangi pelanggan, tetapi karena tidak ada dorongan dari pemerintah, misalnya jalur khusus, jadwal dan rute yang jelas, pelanggan enggan make transportasi biasa, walaupun gak semuanya kayak gitu. Saya pribadi enggan make transportasi biasa kalo nggak dirancang kayak (terpaksa sebut merk) Transjakarta atau KRL di Jabodetabek. Rute dan jalurnya jelas, jadwal berangkat-datang bagi saya nggak terlalu penting, yang penting jam layanannya jelas.

Dalam lingkungan bisnis, angkot (mohon maaf) nggak punya keunggulan menurut saya. Murah? KRL juga murah kok, 10 ribu bisa Tangerang-Bogor, dan itu udah termasuk oper jalur. Transjakarta juga murah, hanya 5 ribu bisa Jakut-Jaksel. Bisa turun di mana aja? Taksi dan ojek online juga bisa, dengan harga yang masuk akal dan langsung siap sedia begitu saya butuh. Artinya apa? Pemerintah (daerah terutama) harus merancang angkot supaya bisa kayak KRL atau Transjakarta. Pemerintah bisa mengkaji struktur biaya tiap moda transportasi dengan rancangan yang beda-beda. Rancang angkot supaya rute dan jalurnya bisa kayak Transjakarta. Saya kira hanya persoalan niat aja yang bisa dorong semua ini. Dan yang paling penting, dorong agar pengendara transportasi biasa bermigrasi ke transportasi biasa YANG UDAH DIRANCANG DAN DITATA dengan baik.


Mohon maaf kalo pembahasannya semrawut, karena permasalahan ini juga tidak kalah semrawut daripada tulisan saya, di samping saya adalah penulis amatiran

Komentar